NAVIGASI

Jumat, 01 Agustus 2014

TENTANG "KEBOCORAN" & KEHILANGAN KEKAYAAN NEGARA

 
By Hazmi Srondol
Dulu Gajahmada ditertawakan karena Sumpah Palapanya utk menyatukan Nusantara. Soekarno juga ditertawakan karena cita-cita Kemerdekaan Indonesia-nya

Lalu kini, Prabowo ditertawakan karena bicara soal "kebocoran" kekayaan negara yang harus di selamatkannya.

Baiklah, sedikit saya bagi ulang tulisan soal ini yang saya tulis sejak tahun 2013 yang merupakan esensi dari cara beliau mewujudkan cita-citanya menjadikan kembali Indonesia sebagai "Macan Asia"....

MERDEKA!

=======

PRABOWO, TUKANG "TAMBAL BAN" KEBOCORAN KEKAYAAN NEGARA

“Ini luar biasa” kataku datar saat salah seorang staff Prabowo meminta pendapatku perihal apa yang sudah mereka kerjakan di ‘jantung’ operasional partai Gerindra.

“Luar biasa bagaimana, Mas?” tanyanya balik dengan wajah berbinar senang.

“Ya, luar biasa karena tidak ada yang melakukan seperti yang kalian kerjakan” jawabku sambil berbalik badan menjauh.

Aku tahu, mereka pasti senang dengan pendapat ini. Walau pun memang pendapatku ini tulus dan dari lubuk hati yang paling dalam, namun tidak kuinginkan memuji terlalu panjang lebar dan detail. Bukan apa-apa. Mereka memang harus di apresiasi tapi jangan sampai pujian berlebihan malah membuat kegedean rasa lalu cepat berpuas diri.

Padahal bagi pemuda-pemuda seperti mereka, walau masih banyak yang pada jomblo, karya besar mereka masih ditunggu untuk bangsa ini. Bukan sekedar untuk pemilu atau pilpres 2014, namun untuk masa yang lebih jauh lagi.

Ya, kalau kita cermati sebagian besat slogan partai peserta pemilu 2014 yang tersisa ini, kita selalu terbentur kepada kata-kata jargon belaka. Kadang saya merasa, kalimat yang tersebar di spanduk-spanduk
mau pun televisi tak ubahnya slogan produk rumah tangga yang mengklaim mereka adalah “kecap no. 1” atau “deterjen paling bersih”. So, apa penjelasan dari semua klaim ini?

Berbeda saat pertama kali kumembaca slogan Partai Gerindra ini, slogan yang unik—bukan slogan dagangan tetapi sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu:

“Kalau bukan kita, siapa lagi! Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Sebuah slogan pertanyaan yang membuatku berbulan bulan mesti semedi (lebay) untuk mencari apa yang membuat para pengurus dan pendirinya memilih sebuah pertanyaan daripada kata-kata tagline belaka.

Belum lagi, muncul slogan dari bawah (simpatisan) yang begitu seperti ‘memaksa’ kepada pengurus atasnya bahwa jika “Gerindra Menang, Prabowo Presiden!”.

Pertanyaan yang malah terjawab saat tanpa sengaja aku browsing tentang tokoh Bung Kecil (Sutan Sjahrir) usai nonton bareng film Soekarno bersama rekan-rekan blogger beberapa hari sebelumnya.

Dalam penyusuran di internet tentang sepak terjang Bung Syahrir inilah, sebuah cuplikan acara televisi yang mengupas tentang situasi politik pra kemerdekaan—muncul statement menarik dari Rocky Gerung, seorang filsuf politik dari Universitas Indonesia. Menurut nya,

“Slogan politik adalah sesuatu yang dioleh dengan kekuatan teori dan menghasilkan proposal perubahan.”

Dan...

“Politik artinya mengedarkan ulang pikiran, memberi keterangan baru pikiran lama. mencoba untuk mensiasti celah kecil yang terbuka untuk pikiran baru.”

Ya! Inilah dua point utama menjawab semua pertanyaanku sebelumnya tentang slogan dan program Partai Gerindra ini.

Harus diakui, slogan pertanyaan yang merupakan sebuah pancingan kepedulian sekaligus ajakan kepada seluruh warga negara untuk ikut berperan serta dalam sebah gerakan besar, gerakan menuju Indonesia Raya. Sebuah mimpi besar para founding father bangsa ini yang tertuang dalam lagu kebangsaaan yang berdarah-darah mereka perjuangkan untuk dikumandangkan. Mimpi yang masih belum 100% terwujud sampai hari ini.

Nah, kembali ke slogan Gerindra ini—muncul pertanyaan dasar, mengapa mereka begitu percaya diri mengajak orang-orang untuk bersama-sama bergerak bersama mereka?

Teori dan proposal perubahan apa yang mereka bawa dan tawarkan?

Pertanyaan yang dijawab langsung oleh munculnya draft program yang resmi mereka sebut sebagai “6 Program Aksi Transformasi Bangsa”-nya. Sebuah program (proposal) yang mudah sekali dicari baik secara cetak mau pun digital di internet. Semua sudah sangat mendetail step by step apa yang akan mereka lakukan.

Bahkan beberapa diantaranya, sudah diperjelas dengan kontrak politik yang berarti: Gerindra dan Prabowo menyodorkan kepalanya untuk siap dijitak atau dipenggal kepalanya jika ingkar janji.

Bagaimana dengan partai lain?

Pertanyaan yang tidak pernah dijawab oleh mereka. Mereka lebih sibuk menyebar luaskan program dan proposal ini ke masyarakat lewat jejaring media atau sosial medianya. Jangankan membandingkan dengan partai lain, menjelek-jelekan partai atau capres lain pun tidak pernah sedikit pun aku temukan. Paling sesekali mengkonter berita yang ‘memplesetkan’ statement Prabowo saat wawancara.

“Kalau soal detail program partai lain, monggo mas Srondol cari sendiri di internet untuk ada atau tidaknya” jelas Prabowo saat kami sedang makan malam bersama. Sebuah jawaban sederhana namun penuh sindiran, eh, makna.

Lalu, terkait statement pak Rocky tentang politik adalah sebuah sistem mengedarkan pikiran—mengerucut satu pertanyaan utama, apa “pikiran” Prabowo ini hingga sistem dan mesin-mesin politiknya begitu fokus dan tidak tolah-toleh saat menyebarkannya?

“Misi pertama kita sederhana, mas. Pertama menutup kebocoran dan kehilangan kekayaan negara yang selama ini menjadi biang kerok gagalnya negara mensejahterakan rakyatnya” jelas Prabowo.

Ya, saya termangu saat Prabowo dengan lugas menjelaskan bagaimana bangsa ini kehilangan lebih dari Rp. 1.100 Trilyun pada tahun 2013 ini. Lebih banyak lagi jika dikomulatifkan ketahun-tahun sebelumnya. Kehilangan yang disebabkan oleh tiga faktor yaitu:

1. Kebocoran Anggaran Negara (APBN) Rp. 500 Trilyun

Subuah kebocoran yang luar biasa edannya! Kebocoran yang dilakukan oleh para “maling” dan “komprador”—kata yang sering diucapkan berkali-kali oleh Prabowo dengan lantang dan penuh kemarahan. Maling merujuk pada koruptor uang negara baik pribadi mau pun sistematis. Sedangkan komprador adalah para antek-antek asing yang tega melacurkan dirinya sebagai jalan keluarnya aset-aset dan kekayaan sumber daya alam bangsa ini kepada orang asing.

2. Kehilangan Potensi Penerimaan Pajak Rp. 360 Trilyun

Sedikit teriris rasanya saat Prabowo menjelaskan bahwa para pembayar pajak yang taat ini adalah para rakyat kecil. Para petani-petani, nelayan, buruh-buruh, karyawan atau pegawai rendahan. Bagaimana para pengusaha kelas kakapnya? Bagaimana para pemilik modalnya? Belum lagi, tempat pengumpul uang pajak ini masih banyak tikus-tikus yang bersedia bernegosiasi untuk mengelabuhi angka pajak sebenarnya yang harusnya mereka bayar.

“Beraninya cuma sama wong cilik!” kata Prabowo menahan geram.

3. Anggaran Negara untuk Subsidi Energi Rp. 300 Trilyun

Beberapa tahun Prabowo menjadi pengusaha perminyakan di luar negeri seperti membuka matanya lebih lebar. Bagaimana bodohnya bangsa ini hanya menjual minyaknya secara mentah dan membeli secara jadi. Padahal, insinyur di Indonesia tidak diragukan lagi kepintaran dan kelihaiannya dalam rancang bangun dan tata kelola teknis minyak sendiri. Belum lagi soal konsumsi menyak bumi yang selalu meningkat tanpa terkendali.

Sungguh paparan yang terbayang olehku bagaimana repotnya Prabowo menyederhanakan kalimat dan jargon ekonominya agar bisa mudah diterima dan dicerna semua lapisan masyarakat. Mungkin sama repotnya dengan Robert T Kiyosaki yang menemukan pola arus keuangan yang akhirnya disebutnya “The Cashflow Quadrant”.

Pantesan saja, pernah suatu hari melihat Prabowo tampak anteng menjawab pertanyaan wartawan BBC London perihal programnya yang dianggap muluk-muluk dan ambisius.

Contohnya soal keberaniaanya menandatangani kontrak politik akan memberi anggaran pembangunan desa 1 milyar/pertahun. Padahal di Indonesia terdapat 80.000 desa yang berarti dibutuhkan 80 trilyun tiap tahunnya. Namun setelah tahu bahwa dengan menyelamatkan 1100 trilyun kekayaaan negara, hal itu sangat masuk akal dan bukan ambisi yang muluk-muluk.

Itu pun masih banyak sisa untuk hal lain seperti menghidupkan IPTN, membangun pabrik otomotif dan motor sendiri, pabrik elektronik dan telko sendiri, memperkuat persenjataan TNI bahkan buy back asset negara yang sudah terjual seperti Indosat dan lainnya pun masih sangat memungkinkan dan ada sisanya.

“Tapi, pak. Ini datanya dari mana?” tanyaku mencoba menelisik lebih dalam.

“Loh, ini data dari pemerintah sendiri mas. Saya nggak mengada-ada atau mencari-cari memakai lembaga survey buatan.” Jelasnya lagi.

Saya pun melongo. Kufikir beliau hanya sedang menyampaikan data dan fakta dari sejenis lembaga survey ala survey-survey capres yang lazim keluar beberapa bulan ini. Data dan fakta yang akhirnya membuatku menjadi tidak heran lagi jika banyak profesor dan guru besar ekonomi tidak mampu membantahnya.

“Sebenarnya data ini sudah banyak yang tahu, mas. Cuman entah mengapa disembunyikan. Saya harus nekad mengabarkan yang pahit-pahit ini kepada masyarakat agar sama-sama sadar. Saya tidak mau membuai rakyat dan mengatakan bahwa negara kita ini baik-baik saja. Bangsa kita dalam masalah besar, mas.” Jelasnya.

Masalah besar yang membuat bangsa besar ini, mirip sebuah motor balapnya Valentino Rossi yang sedang kempes bannya. Kempes karena bocor disana sini. Berjalan mengelinding hanya mengandalkan velk-nya saja. Tak heran, motor sebesar dan sekuat itu begitu mudah dilewati negara tetangga yang langsing dan efisien.

Ilustrasi yang kadang membuatku membayangkan Rossi sedang menuntun motor nya sambil dilewati motor bebek dan matic sambil dadah-dadah. Hiks…

Sungguh kadang saya merasa Prabowo ini seperti tukang tambal ban, tambal ban keuangan negara yang bocor-bocor.

“Nah, kalau sudah kebocoran anggarannya ditutup—bagaimana caranya menambah kekayaan negara, pak?” tanyaku makin penasaran.

“Begini mas, ada paradigma yang harus digubah. Contohnya pada minyak bumi dan sumber daya energi lainnya, selama ini kita hanya menjual minyak, gas dan batubara hanya secara mentah. Untuk minyak, kita hanya mendapatkan dana 100$/barrel. Padahal jika kita olah dahulu menjadi barang bernilai tambah yang merupakan turunannya—kita bisa mendapat harga yang puluhan bahkan ratusan kali dari minyak mentah. Itu juga berlaku untuk gas dan batubara..”

“Terus apalagi, pak?”

“Yang utama tentu kita memakai jurus “Strategi Dorongan Besar” yang berbasis pada pertanian. Berbasis pada ekonomi kerakyatan. Mas Srondol sudah siap mendengarkannya?” kata Prabowo sambil bertanya balik.

“E, sebentar. Saya tarik nafas dulu…”

Hup, puuuffff….

Tidak ada komentar :

Bagikan