NAVIGASI

Senin, 04 Agustus 2014

KEPPRES 96/2000: Pintu Masuk Swastanisasi Bisnis Pencetakan Rupiah



Andaikata SBY tidak menyebut-nyebut periode 1999 dalam pernyataan bantahannya terhadap berita yang mengaitkan dirinya sebagaimana dilansir WikiLeaks, pasti saya akan bingung tujuh keliling menangkap konteks dari berita WikiLeaks tersebut.

Kalaupun SBY kemudian membantah bahwa dirinya dan Megawati tak ada sangkut-pautnya dalam soal skandarl percetakan uang negara, pastinya saya maupun publik pada umumnya akan bertanya-tanya ini sebenarnya kasus yang mana sih.

Untunglah, meski belum jelas motifnya, namun SBY seakan kemudian menggiring kita untuk kilas balik kejadian pada 1999. Di era itu, pemerintahan berada di tangan duet Gus Dur-Mega.

Dan SBY sempat dua kali gabung di pemerintahan ini, pertama sebagai Menteri Pertambangan dan Energi. Lalu kemudian sempat juga jadi Menko Politik dan Keamanan. Jadi sebenarnya masuk akal juga kalau SBY berkelit bahwa pada masa itu dia tidak berwenang di ranah ekonomi dan keuangan.

Tapi bagaimana dengan Megawati yang waktu itu mendampingi Gus Dur sebagai Wakil Presiden?

Sewaktu bongkar-bongkar lagi tumpukan berita lama, saya mulai menangkap sektor hulu atau jantung persoalan skandal pencetakan uang ini. Dan SBY memang betul, semua ini memang harus ditelisik sejak 1999 hingga 2001.

Dalam investigasi Tabloid Detak Januari 2001, Presiden Gus Dur sempat mengeluarkan dua aturan yang saling bertentangan hanya dalam tempo satu bulan. Dan keduanya berkaitan dengan masalah pencetakan rupiah. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 34/2000 dan Keppres 96/2000.

Pada 7 Juni 2000, Gus Dur menandatangani PP No 34/2000 tentang Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia(Perum Peruri). PP 34 itu merupakan pembaharuan terhadap PP No 30/1985.

Pada bab III Pasal 3 ayat 1 disebutkan: "Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah Badan Usaha Milik Negara yang merupakan badan usaha tunggal di bidang percetakan uang yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan pencetakan uang rupiah untuk Bank Indonesia. Dengan kata lain, poin penting dalam aturan PP 34/2000 ini, Perum Peruri menjadi satu-satunya badan yang berhak mencetak rupiah.

Namun tanpa sebab dan alasan yang jelas, pada 20 Juni 2000, Presiden Gus Dur membuat Keppres 96/2000 yang isinya bertentangan dengan PP 34 tadi. Keppres 96/2000 itu mengatur tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu bagi penanaman modal.

Pada halaman lampiran, terutama Lampiran IV yang menyebut daftar usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu, terdapat kejanggalan pada sub bab SEKTOR INDUSTRI. Kenapa?

Pada butir ketujuh disebutkan Industri percetakan uang wajib mendapat izin operasional dari Botasupal-BAKIN dan mendapat persetujuan dari Bank Indonesia.

Maka dengan diberlakukannya Keppres 96/2000 yang misterius ini, maka semua orang berarti boleh membuat perusahaan pencetakan rupiah asalkan mendapat izin dar Batosupal-BAKIN dan mendapat persetujuan Bank Indonesia.

Artinya, Peruri tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan pencetakan rupiah.

Yang misterius dari Keppres ini, bukan sekadar bertentangan dengan PP no34/2000, namun siapa sesungguhnya aktor intelektual di balik pemerintahan duet Gus Dur-Megawati kala itu?

Analisis yang berkembang kala itu, Keppres 96/2000 ini dengan sengaja dikeluarkan untuk memuluskan skenario sebuah kekuatan modal besar yang bermaksud menguasai bisnis pencetakan uang di Indonesia. Sehingga keluarnya Keppres 96/2000, merupakan pintu pembuka ke arah swastanisasi bisnis pencetakan rupiah.

Melalui skema baru industri pencetakan uang yang dipayungi Keppres 96/2000 inilah, kemudian mencuat sosok Aulia Pohan, yang dalam periode kepemimpinan BI ketika itu, merupakan salah satu deputi Senior Bank Indonesia. Belakangan Pohan, merupakan besan dari Presiden SBY.

Apa gara-gara sosok ini kemudian SBY namanya disangkut-pautnya dalam berita yang dilansir WikiLeaks? Entahlah. Yang jelas, Pohan kala itu diindikasikan mendukung PT Pura Binaka Mandiri, untuk memenangkan tender sebagai perusahaan pembuat kertas uang.

Indikasi keterlibatan Aulia Pohan semakin menguat dengan adanya fakta bahwa sebagai Deputi Senior BI, Pohan membawahi masalah pengadaan dan pemasaran uang. Sehingga urusan tender untuk pemasokan kertas, berada dalam wewenang Pohan.

Bagaimana kemudian mengaitkan peran Pohan dalam kaitan dengan skema privatisasi Pencetakan Rupiah yang sumbernya dari kantor kepresidenan?

Investigasi Tabloid Detak Januari dan Februari 2001, mengindikasikan adanya keterlibatan Kantor Setwapres yang muaranya tertuju pada Bambang Kesowo, orang dekat Megawati.

Ketika Mega jadi presiden menggantikan Gus Dur, Kesowo ditunjuk Mega sebagai Menteri Sekretaris Negara(Mensesneg). Dan sejak itu, jaringan birokrasi Setneg sepenuhnya dikuasai oleh kliknya Kesowo, yang pada era Suharto, merupakan binaan Sudharmono dan GinandjarKartasasmita.

Konteks investigasi Detak kala itu memang sebatas mengungkap praktek tender yang tidak fair sehingga menguntungkan PT Pura, namun kalau dikembangkan kasus ini, sebenarnya skema Kepres 96/2000 inilah yang kemudian membidani lahirnya PT Pura PT Pura lainnya, yang bukan tidak mungkin, kasus korupsi proyek pencetakan uang kertas yang melibatkan dua perusahaan Australia.

Yaitu Reserve Bank of Australia (RBA) dan Note Printing Australia, juga merupakan buah dari skema swastanisasi pencetakan uang yang sudah dibukakan pintunya lebar lebar melalui Keppres 96/2000 tersebut.

Hal ini bisa kita lihat, ketika PT Pura akhirnya dimenangkan tendernya oleh Aulia Pohan yang merupakan Deputy Senior BI bidang pengadaan dan pemasaran uang, ternyata juga ada beberapa perusahaan asing yang ikut bertarung mendapatkan tender. Seperti Crane & Co(USA), Louisenthal GmbH(Jerman), Portals Limited (Inggris), dan Arjo Wiggins SA(Perancis).

Menurut pandangan saya pribadi, skema Keppres 96/2000 ini merupakan bentuk dari aksi subversi ekonomi, bukan sekadar mentolerir liberalisasi ekonomi di Indonesia. Betapa tidak. Di Amerika Serikat saja, pecetakan uang negara dan markas intelijen di Pentagon dianggap sama strategisnya. Sehingga perlu pengaman ekstraketat.

Namun di Indonesia, Badan Intelijen justru jadi sarana berbagai kepentingan untuk menghadirkan perusahaan-perusahaan swasta pencetakan uang baik swasta dalam negeri maupun asing, untuk mengelola bisnis percetakan rupiah di Indonesia.
 

Tidak ada komentar :

Bagikan