NAVIGASI

Kamis, 18 Desember 2014

MUBYARTO: ILMU EKONOMI YANG KITA AJARKAN KELIRU


By Tarli Nugroho

::: [Petikan pendek ini dicuplik dari wawancara panjang dengan Mubyarto sebagaimana dimuat dalam buku Dumairy & Tarli Nugroho, “Ekonomi Pancasila: Warisan Pemikiran Mubyarto” (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014). Wawancara dilakukan oleh Tarli Nugroho, Fauzul A. Muhammad, Indarti Yuni Astuti, dan Karlina pada 29 Mei 2003] :::

Bermula di awal tahun 1980-an, gagasannya mengenai Ekonomi Pancasila mengundang polemik. Karena keberaniannya menawarkan gagasan, yang diklaimnya alternatif, tak urung ia kerap dicap sebagai ekonom “ngawur”, karena pikiran-pikiran
nya dianggap normatif. Tak cuma itu, ia pun dituduh punya maksud politis tertentu dengan gagasan Ekonomi Pancasila-nya, sampai-sampai Presiden Soeharto, kala itu, ikut mengomentari gagasannya.

Kini, di jaman yang acap disebut era Reformasi ini, ayah empat orang anak yang meraih gelar profesor di usia muda ini dengan cukup leluasa mengembangkan gagasannya mengenai Ekonomi Pancasila melalui pusat studi yang baru saja didirikannya. Kini ia tak perlu takut lagi dituduh macam-macam.

Dan keberaniannya memang tak pernah surut. Di saat sebagian besar orang merasa alergi mendengar kata “Pancasila”, ia sebaliknya justru semakin percaya dengan ide itu. Ide-idenya yang dulu dianggap sepi oleh banyak pengamat, kini sedikit demi sedikit menuai hasilnya. Semakin banyak kepala daerah yang mengundangnya untuk membantu pengembangan ekonomi rakyat di daerah. Sejumlah ekonom muda yang dianggap sepemikiran ia ajak untuk menghidupkan Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP), yang didirikannya persis pada peringatan Satu Abad Bung Hatta.

Seakan ingin menjawab keraguan sebagian orang akan gagasannya, ia lantas menggandeng seorang ekonom Amerika, Daniel W. Bromley, untuk menulis sebuah buku, “A Development Alternative for Indonesia” (2002). Tidak berhenti di situ, pada saat proses pembahasan amandemen Pasal 33 UUD 1945, ia bersama dengan M. Dawam Rahardjo menyatakan mengundurkan diri dari Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Pangkal mulanya adalah usulan penghapusan asas kekeluargaan oleh sebagian besar anggota tim yang dipimpinnya, yang ia rasa sudah mengkhianati ideologi bangsa.

Begitulah, meski sudah pensiun sebagai guru besar, semangatnya tak pernah surut. Sebuah perbincangan yang bertenaga di kantornya membuktikan itu. Tiga jam lebih ia luangkan untuk berbincang, pada 29 Mei 2003. Berikut petikannya.

>>> SEBENARNYA, BAGAIMANA KONSEP EKONOMI PANCASILA YANG SERING ANDA TAWARKAN ITU?

Ekonomi Pancasila itu ekonomi pasar yang mengacu pada setiap sila Pancasila. Kalau kita jabarkan sila-sila Pancasila, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu artinya ekonomi harus mendasarkan diri pada moral, karena Tuhan-lah sesungguhnya yang menjadi pemilik dan penguasa atas semua ini. Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya ekonomi itu harus bersifat manusiawi dan adil, menganggap sama semua manusia, satu dengan yang lain tidak boleh ada yang mempunyai kedudukan atau hak yang lebih tinggi.

Lalu persatuan Indonesia, ini adalah bentuk nasionalisme ekonomi, bahwa setiap kebijakan harus sejalan dengan nafas nasionalisme. Contohnya adalah ketika kita memutuskan cerai dengan IMF (International Monetary Fund), itu sebenarnya menguntungkan ekonomi Indonesia. Terus sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, ini adalah prinsip demokrasi ekonomi, bahwa setiap orang, meski dia itu miskin ataupun lemah, tetap harus diikutsertakan dalam tiap pembuatan kebijakan. Lalu yang terakhir, keadilan sosial, ini sudah jelas yang dituju.

Jadi, kalau lima sila itu kita peras secara analitis, sila pertama dan kedua itu menjadi dasarnya, yaitu moral dan kemanusiaan; sila tiga dan empat itu caranya, berupa nasionalisme yang demokratis; lalu sila kelima itu adalah tujuannya, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Persis seperti cerita tata, titi, tentrem, kerta raharja, benar-benar adil dan makmur.


>>> APA YANG SELAMA INI MENDORONG ANDA BEGITU GIGIH UNTUK MEMPERJUANGKAN EKONOMI PANCASILA?

Waktu pulang dari Amerika saya yakin, saya merasa berdosa karena telah mengajarkan ilmu ekonomi yang keliru kepada mahasiswa. Mahasiswa saya diajari ilmu ekonomi yang bukan ekonomi Indonesia, tapi ilmu ekonomi Amerika. Kalau diklasifikasikan, dosanya itu saya pisahkan menjadi tiga.

Dosa pertama, ekonomi yang kita ajarkan itu selalu mengacu pada buku Adam Smith, Wealth of Nations (An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, terbit pada 1776—Red.). Padahal dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiments, yang ditulis 17 tahun sebelumnya (1759), berbeda sekali isinya. Dalam buku pertama, Smith mengatakan bahwa manusia adalah homo socius, sedangkan pada buku kedua ia menulis bahwa manusia adalah homo economicus. Nah, yang diajarkan pada mahasiswa kita adalah bahwa manusia itu hanya homo economicus. Ini ‘kan dosa. Sehingga semua mahasiswa ekonomi kemudian mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang rasional, padahal tidak! Itu hanya di buku kedua Smith, sedangkan buku pertama mengajarkan bahwa manusia adalah homo socius, yang hidup bersama, yang mementingkan moral, tidak mengejar kepentingan ekonomi semata, tidak selfish.

Jadi, seharusnya dua buku itu diajarkan secara bersama, bahwa manusia adalah homo socius dan homo economicus, tidak seperti sekarang ini yang diajarkan hanya buku kedua.

Kemudian dosa kedua adalah pembedaan ilmu ekonomi dalam dua bentuk, yaitu ekonomi normatif dan ekonomi positif. Nah, yang kita ajarkan selama ini adalah ilmu ekonomi yang positif. Jadi yang normatif, yang das sollen itu nggak perlu. Persoalannya, yang positif (das sein) dalam buku-buku ekonomi Amerika itu ketika diterapkan di sini tidak lagi das sein, tapi das sollen. Artinya, harus dilihat dulu apakah contoh-contoh dari buku Amerika itu cocok untuk diterapkan di Indonesia atau tidak.

Jadi, das sein itu harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia lewat penelitian-penelitian. Sehingga, sebenarnya ekonomi positif dengan ekonomi normatif itu sudah tidak perlu lagi dibedakan, karena pada akhirnya ilmu itu harus disesuaikan dengan kondisi riil masyarakatnya. Makanya 62% mahasiswa Harvard mengatakan bahwa perdebatan positif dan normatif itu tidak perlu lagi dilakukan. Lha, kok kita malah masih membeda-bedakannya?!

Lalu dosa ketiga, guru-guru Indonesia yang pulang dari luar negeri kebanyakan hanya mengajar secara deduktif, bersifat text book, sedangkan metode induktif tidak pernah dilaksanakan. Sehingga, banyak hal yang harus dirombak dalam buku dan pengajaran ekonomi kita. Seperti di SMP (Sekolah Menengah Pertama) misalnya, yang namanya rumah tangga itu diajarkan semata-mata hanya bisa menjadi konsumen. Padahal, itu ‘kan tidak benar. Itulah yang harus kita luruskan. Terus teori yang menyebutkan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhannya terbatas, itu juga ‘kan keliru, membuat manusia menjadi serakah.

(Mubyarto lantas membacakan beberapa terjemahan ayat Al-Quran, sebagai bukti kontradiksi teori tersebut dengan ajaran agama yang dia yakini. Ia juga menerangkan kontradiksi itu juga terjadi dengan ajaran agama-agama lain).

Jadi, bisa dikatakan teori neoklasik itu anti-agama. Dosa-dosa itulah yang ingin saya tebus, di antaranya dengan mendirikan Pustep (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) ini.

>>> SEBELUMNYA ANDA ‘KAN ORANG YANG BERADA DI LUAR PAGAR, BERSEBERANGAN DENGAN PEMERINTAH. KENAPA PADA 1993 ITU BISA MASUK KE LINGKARAN KEKUASAAN, JADI MESRA BEGITU?

Pada waktu itu ‘kan menterinya Pak Ginandjar Kartasasmita, dia itu teman dekat saya waktu di MPR. Setelah dilantik menjadi menteri, sorenya dia telpon saya. Dia tanya, Pak Muby mau nggak membantu saya melaksanakan program yang kita susun di MPR dulu. Nah, agar konsep ekonomi rakyat dan sebagainya itu sampai ke presiden, ya harus lewat orang-orang seperti Pak Ginandjar itu. Sebab, kalau di departemen lain ‘kan ekonomnya betul-betul dari Barkeley Mafia.
Sebenarnya kami yang di Bapennas itu ‘kan bukan pelaksana ekonomi. Makanya program IDT itu menjadi perkecualian dari kebijakan ekonomi, sebab ekonomi yang di luar itu tetap tidak berubah, tetap dipercayakan pada pasar, tetap memihak pada konglomerat.

Saya di Ekuin sampai Habibie diganti, jadi lima tahun. Waktu presidennya Gus Dur, saya tahu yang akan jadi menteri dan ketua Bappenas itu ‘kan Pak Kwik Kian Gie. Saya sudah lama tahu kalau Pak Kwik itu pendapatnya banyak yang berseberangan dengan saya, meskipun kini saya banyak setuju dengan gagasan dia. Tapi pada waktu itu pokoknya Kwik sangat percaya dengan kapitalis, pokoknya semua harus kapitalis, sangat berbeda dengan Arief Budiman yang harus sosialis.Saya ‘kan kebetulan bukan orang yang percaya pada kapitalisme ataupun sosialisme, tapi saya percaya pada Sistem Ekonomi Pancasila.

Semisal, dulu Pak Kwik bilang kalau dua puluh orang masing-masing punya uang dua puluh juta, itu sudah boleh mendirikan koperasi. Nah, saya bilang, kalau punya uang dua ratus juta itu lebih baik mendirikan perusahaan saja. Jadi pengertian koperasi Pak Kwik itu keliru. Koperasi itu untuk mengumpulkan orang-orang yang tidak berdaya agar menjadi berdaya. Kalau orang kaya itu jangan mendirikan koperasi, mendirikan perusahaan saja.

Jadi, daripada Pak Kwik yang memecat saya, lebih baik saya saja yang pergi. Meski di kemudian hari saya tahu, Pak Kwik ternyata menanyakan keberadaan saya, kenapa saya kok dibolehkan pulang, padahal masih dibutuhkan di sana.

>>> KALAU KITA MELIHAT KE BELAKANG, SEBENARNYA SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI KITA ITU DULU BERSIFAT SOSIALIS, SEPERTI BUNG HATTA, LALU KEMUDIAN SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO. TAPI KENAPA KEMUDIAN KITA CENDERUNG MENJADI LIBERAL?

Tetapi liberalnya itu setelah kita prihatin lho, setelah harga minyak jatuh pada tahun 1981. Sebelum itu ‘kan ekonomi kita bersifat etatis. Karena negara menguasai penjualan minyak, melonjaknya harga minyak pada awal 1970-an membuat negara menjadi kaya. Karenanya banyak pemodal yang ingin berinvestasi di Indonesia. Tetapi setelah harga minyak jatuh pada tahun 1982, kita itu mulai prihatin. Pertumbuhan ekonomi hanya 2,2% waktu itu. Maka pemerintah kita berpikir, “Kalau begini terus kita harus mengundang swasta untuk berinvestasi.”Lalu swasta nasional diberi kesempatan lebih dahulu untuk berinvestasi, baru modal asing. Nah, tanggal 1 Juni 1983 itu awal dari deregulasi, kemudian dilanjutkan dengan Pakto (Paket Oktober, paket kebijakan deregulasi jilid dua—Red.) 1988. Bank-bank boleh meningkatkan tingkat suku bunga pinjaman dan suku bunga deposito.

Pada tahun 1988 itu orang-orang yang punya uang lebih dari 5 miliar boleh mendirikan bank. Makanya kemudian bank-bank tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Dari jalan Solo sampai jalan Sudirman itu, ini guyonan, dulu kalau kita melempar batu bunyinya “duk…duk…duk!”, maka pada tahun 1988 bunyinya jadi “bang…bang…bang!” karena demikian banyaknya jumlah bank. Bayangkan, dalam tujuh tahun naik tiga kali lipat, dari 70 menjadi 240. Ketika krisis, jumlah itu banyak berkurang. Jadi betul kalau orang asing mengatakan di Indonesia itu terlalu banyak jumlah bank. Saya mengatakannya lebih spesifik, bukan hanya terlalu banyak bank, tapi terlalu banyak bank yang tidak diawasi, nggugu karepe dhewe (semaunya sendiri—Red.). Karena tidak diawasi, mereka lalu sibuk mengumpulkan uang dari masyarakat, tapi tidak pernah memberikan kredit pada masyarakat. Uangnya digunakan untuk mengembangkan perusahaan pemilik bank itu sendiri. Jadi, sebenarnya mereka hanya menyedot uang masyarakat untuk kepentingan pribadi. Mereka inilah yang kemudian saya sebut sebagai bank tipuan.

>>> JADI, JELASNYA, KALAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI “PENYIMPANGAN”, PENYIMPANGAN ITU TERJADI MULAI KAPAN?

Sejak mulai tahun 1967-1968 itu kita sudah mulai menjauhi sistem sosialis, sebab Ketetapan MPRS No.23 itu mengamanatkan pembaharuan kebijakan ekonomi, terutama berkaitan dengan kata demokrasi ekonomi. Lalu, tahun 1973 terjadi hal yang menarik. Waktu itu ‘kan kita lagi prihatin, kok tiba-tiba ditolong oleh Yang Maha Kuasa dengan kenaikan harga minyak. Itu yang menyebabkan kita jadi etatistik.

Nah, etatistik kalau dikawinkan dengan liberal, ya menjadi modal asing, yang kemudian berkembang menjadi persekutuan antara pejabat dengan konglomerat. Konglomerat itu mulai berkiprah pada tahun 1974. Kebetulan waktu itu putra-putri Presiden masih kecil-kecil, walaupun ada kroni-kroni di luar itu. Nah, tahun 1988 itu Tutut, Bambang, Sigit, sudah mulai dewasa. Sejak saat itu KKN lebih merajalela lagi, karena tidak hanya melibatkan kroni, tapi juga anak. Cina-cina itu sudah mulai dari sebelum tahun ‘83.

Persis pada waktu pidato pengukuhan tahun 1979, saya juga kebetulan sedang mengikuti angkatan kedua Penataran P4 di Kepatihan. Makanya, saya berpidato mengenai Pancasila. Pada waktu itu saya melihat, kalau pada Pelita I dan Pelita II kita konsen mengenai pertumbuhan dan berhasil, maka pada Pelita III yang menitikberatkan pada pemerataan, saya kok merasa khawatir kalau-kalau teori Barat, yang neoklasik itu nggak bisa dipakai. Artinya, teori itu hanya bisa dipakai untuk pertumbuhan saja, tidak bisa untuk pemerataan. Nah, itulah pertama kalinya saya menyebutkan kata Ekonomi Pancasila, meskipun Emil Salim sudah menyebut itu pada tahun 1966.

>>> KALAU DICERMATI, KELIHATANNYA ADA PERBEDAAN-PERBEDAAN YANG CUKUP SIGNIFIKAN ANTARA PEMIKIRAN EKONOM-EKONOM UGM, IPB, DAN UI. ADA YANG MENGATAKAN KALAU PEMIKIRAN EKONOM UGM DAN IPB ITU SAMA, YAITU AGAK BERBAU SOSIALIS. SEDANGKAN EKONOM UI ITU CENDERUNG KAPITALIS, LIBERAL, MESKI PENDIRI FAKULTAS EKONOMINYA, SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO, ADALAH SEORANG SOSIALIS. KOMENTAR ANDA?

Pada waktu saya masih di Badan Pekerja MPR, Maret 2001 lalu, yang membahas amandemen Pasal 33 UUD, sempat terjadi perdebatan di Hotel Sabang (Mubyarto lalu menyebut beberapa nama ekonom muda yang tidak sepemahaman dengannya). Waktu itu ada yang mengatakan, “Pak Muby, kita nggak bisa deh mengatakan bahwa yang namanya Ekonomi Pancasila itu adalah ekonomi Indonesia! Pokoknya kita harus manut dengan ekonomi yang sekarang menang, sekarang jalan, yaitu ekonomi kapitalis!”

Lalu saya bilang, ekonomi kapitalis itu ‘kan aturan main. Saudara setuju tidak dengan saya kalau sistem itu dibuat oleh negara-negara yang paling maju, negara-negara yang paling kapitalis. Apakah Saudara percaya kalau sistem itu nanti menguntungkan kita? Jadi kalau sistem ekonomi kapitalis yang kita gunakan, apakah nanti akan menguntungkan kita? Pasti ada bias dengan kepentingan mereka, negara-negara kapitalis. Lebih baik ‘kan percaya pada sistem perekonomian kita sendiri.

Dulu pernah ada juga yang bilang, “If you can’t beat them, join them!” sebuah pernyataan yang betul-betul mengaku kalah sebelum berperang. Mereka teman-teman kita dari ekonomi makro Jakarta, yang memang sebagian besar dari UI. Akan tetapi ada teman kita dari UI, Sri-Edi Swasono, itu bergabung dengan kita, mendukung Ekonomi Pancasila. Tapi ya memang minoritas. Sebenarnya bukan hanya UI yang begitu, Fakultas Ekonomi UGM juga sama, tidak semua sepemahaman dengan saya. Makanya, Pustep dapat merekrut sembilan orang itu sudah sangat lumayan, karena sebagian besar memang masih meragukan apakah Ekonomi Pancasila itu ada, masih belum welcome terhadap Ekonomi Pancasila. Kalau FE UGM setuju dengan saya, pasti Ekonomi Pancasila itu sudah dikenalkan sebagai mata kuliah. Tapi sebagian besar mereka masih percaya pada teori yang berasal dari Barat.

>>> KALAU EKONOM MUDA SENDIRI ANDA MELIHATNYA BAGAIMANA?

Sebagian besar masih percaya pada ekonomi neoklasik, seperti yang mereka pelajari dari text book. Sebenarnya ini adalah kesempatan untuk yang muda-muda. Sebab, persis seperti yang saya tulis di buku Alternative Development for Indonesia, yang saya karang bersama orang asing, di situ kami mengatakan bahwa ekonom-ekonom tua, yang sudah senior itu, pahamnya sudah susah diubah, karena sudah mantap. Sebab kalau diubah, apa yang akan mereka ajarkan? Wong yang mereka ketahui hanya itu kok. Tapi kalau anak-anak muda, kesempatannya untuk berubah masih sangat terbuka. Makanya, sasaran perjuangan Ekonomi Pancasila adalah anak-anak muda.

>>> DALAM SALAH SATU TULISAN ANDA, ANDA MENGAKUI BAHWA PERDEBATAN MENGENAI EKONOMI PANCASILA PADA 1981 ITU BELUM SAMPAI PADA PERDEBATAN TEORITIS, YAITU BAGAIMANA MENURUNKAN KONSEP-KONSEP IDEAL EKONOMI PANCASILA KE DALAM TEORI PRAKTIS. BAGAIMANA PERKEMBANGANNYA SEKARANG?

Tiap cabang ilmu ekonomi, atau topik ekonomi khusus, seperti misalnya perdagangan internasional, memang harus diarahkan untuk memiliki teori. Nah, bagaimana perdagangan internasional menurut Ekonomi Pancasila? Itu memerlukan dukungan dari banyak ahli ekonomi. Saya sendirian tidak mungkin bisa. Sebenarnya, teman-teman yang lain sejak dulu sudah ada keinginan untuk merumuskan itu secara detail, tapi keburu “dipukul” oleh pidato presiden pada tanggal 18 Agustus 1981. Waktu itu Presiden mengatakan bahwa tidak usah neko-neko mencari Ekonomi Pancasila dari luar. Sudahlah, dicari di dalam negeri saja. Itu ‘kan menunjuk saya dan teman-teman, seakan-akan kami itu mau membuat teori Ekonomi Pancasila yang dilihat dari Barat, karena kita semua sekolah di Amerika.

Imbas dari pidato itu adalah semua orang kemudian menganggap Mubyarto dan kawan-kawan yang dari Gadjah Mada itu ngaco, jangan digugu, lah (dituruti—Red.). Pokoknya situasi waktu itu memang berat. Pada 1981 itu, sejak tujuh tahun sebelumnya, 1973, perekonomian Indonesia itu memang blessing. Kalau pada waktu itu ada yang bilang bahwa perekonomian kita jelek, seperti yang saya katakan itu, ya memang sulit untuk dipercaya. Perekonomian sebegini bagus kok dibilang jelek. Padahal, yang kelihatan bagus itu hanya permukaannya saja. Tapi ya sudah, terlanjur begitu, jika seorang presiden sudah bicara begitu, lalu semua orang jadi takut semua, manut. Saya sebenarnya tidak takut, tapi karena saya sendirian ya sudah, akhirnya tenggelam.

Tapi kita sudah memulai ke arah itu (teori—Red.). Dalam situs, saya sudah mempublikasikan tulisan tentang teori inventasi dan pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan dari staf Pustep di luar saya, yang sembilan orang itu, serta tiga orang dari luar Yogya, seperti Sri-Edi Swasono, Dawam Rahardjo, dan Bayu Krisna Murti, juga bisa mulai merumuskan topik-topik khusus. Sony (maksudnya Revrisond Baswir, salah seorang peneliti Pustep—Red.), misalnya, sudah konsentrasi di teori privatisasi.

>>> SELAMA INI, JIKA MENILIK TULISAN-TULISAN TENTANG EKONOMI PANCASILA, BAIK YANG ANDA TULIS ATAUPUN OLEH TEMAN-TEMAN ANDA, KONSEPNYA MASIH TERLALU MENEKANKAN REKAYASA NORMATIF, BELUM MENYENTUH REKAYASA MATERIAL. PADAHAL, UNTUK ILMU KEMANUSIAAN KEDUA PENDEKATAN ITU SAMA-SAMA DIPERLUKAN.

Dulu saya belum punya jawaban, tapi sekarang saya sudah punya jawaban. Saya punya jawaban begini, teori ekonomi Barat itu positif kalau adanya di Amerika, di Inggris, dan lain-lain. Di Indonesia, ekonomi Barat itu menjadi normatif, karena belum tentu cocok dengan kultur budaya sini.

Jadi, kalau dulu Arief Budiman pernah menuduh bahwa ekonominya Pak Mubyarto itu ahistoris, itu sesungguhnya gampang sekali dibantah. Normatif itu artinya sesuai dengan norma-norma masyarakat. Tapi orang-orang ini apriori duluan pada Ekonomi Pancasila. Maunya, mereka mendukung kalau kita sudah menemukan rumus-rumus perdagangan internasional, atau rumus otonomi daerah menurut Ekonomi Pancasila. Mereka hanya ingin menjadi penonton, tidak mau turut menjadi pemain.

Tuduhan normatif itu barang kali adalah senjata untuk “mematikan” saya. Di Australia, misalnya, meski tidak bicara secara langsung, ada yang ngomong “Kenapa Indonesia Update yang diadakan tiap tahun itu tidak pernah mengundang Mubyarto? Karena Mubyarto sekarang sudah menjadi terlalu normatif.” Karena saya dianggap normatif, maka apa yang saya omongkan itu nggak cocok dengan yang positif, yang nyata. Lha, saya ‘kan kaget kalau sekarang dituduh begitu. Karena, selama saya menjadi direktur P3PK (sekarang PSPK, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan—Red.), sebelas tahun lamanya saya mengadakan penelitian tentang kemiskinan di pedesaan, mengunjungi daerah-daerah. Kalau saya masih juga dituduh normatif, saya tidak tahu yang positif itu seperti apa?! Apa contoh-contoh yang saya omongkan, seperti tentang Gunung Kidul dan Sumatera Barat tadi nggak riil?

Sampai sekarang saya tetap tidak mengerti. David Bromley, orang Amerika yang menulis buku Alternative Development for Indonesia bersama saya, mengatakan bahwa menurut pengamatannya “Ekonomi Pancasila itu harus menjadi ekonomi bangsamu.” Saya jawab, ya, saya sudah berusaha mati-matian selama 45 tahun mengajar ilmu ekonomi, dengan dua puluh lima tahun di antaranya sebagai profesor. Rasanya saya sudah cukup banyak makan garam, sudah pol (tuntas—Red.) gitu. Jadi, kalau masih ada yang meremehkan Mubyarto, ya ndak apa-apa.

>>> DALAM SALAH SATU WAWANCARA DENGAN SURAT KABAR, ANDA MENGATAKAN BAHWA UNTUK KONDISI SAAT INI KONSUMSI LEBIH BAIK DARI INVESTASI. ADA NGGAK BUKTI EMPIRIS YANG MEMBUKTIKAN HAL ITU? SEBERAPA SIGNIFIKAN KONSUMSI BISA MEMULIHKAN KEMBALI PEREKONOMIAN?

Kesimpulan itu salah kaprah. (Mubyarto lalu berdiri, kemudian menulis di papan tulis). Dalam teorinya Keynes, ada rumus Y=C+I+G (X-M). (Rumus ini adalah rumus perhitungan pendapatan nasional, dimana C= Konsumsi, I= Investasi, G= Pengeluaran Pemerintah, X= Ekspor, dan M= Impor). Kita berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi sekarang ini tidak terjadi karena adanya investasi, tapi dari konsumsi. Sebab investasi asing saat ini nggak ada. Bahkan, dalam laporan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal—Red.), bukan hanya menurun, melainkan juga terjadi pelarian modal keluar ke luar negeri. Tetapi kenapa kok pertumbuhan kita masih bisa 3-4% per tahun? Siapa lagi yang bisa membuat itu kalau bukan ekonomi rakyat, ekonomi yang bukan perusahaan, tapi ekonomi kelas menengah ke bawah!?

Kalau itu sudah diketahui, yaitu ekonomi kita tumbuh 4%, meskipun investasinya anjlok, itu artinya ‘kan teori itu sudah salah, karena mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa lewat investasi. Itu maksudnya kalau dikatakan konsumsi lebih penting. Tapi saya tidak mengatakan begitu. Saya mengatakan investasi di Indonesia itu sebenarnya tidak anjlok, tetapi sekarang dilakukan oleh orang-orang kecil, oleh ekonomi rakyat. Hanya saja, karena dalam statistik resmi itu ekonomi rakyat nggak ada angkanya, maka yang terlihat seakan-akan tidak ada investasi. Padahal ada. Itulah kenapa pertumbuhan ekonomi kita masih 3-4%. Lalu kekeliruan lain, selalu saja dilaporkan bahwa membeli sepeda motor itu adalah konsumsi. Padahal, kalau di sini ‘kan sepeda motor itu banyak yang dipakai untuk ngojek. Dan itu mendatangkan pendapatan. Lalu ibu-ibu di pasar itu, sepeda motor dipakai untuk mengangkut barang-barang dagangan. Masak yang seperti itu bukan investasi? Jadi, sekarang itu banyak sekali kekeliruan definisi, investasi dinilai sebagai konsumsi.

>>> SEKARANG KITA BERHADAPAN DENGAN PERDAGANGAN BEBAS DAN SERBUAN MODAL ASING YANG DEMIKIAN KUAT. PADAHAL, KONDISI INTERNAL KITA MASIH DEMIKIAN RAPUH. MUNGKIN NGGAK KITA MELINDUNGI STRUKTUR YANG ADA DI DALAM DENGAN CARA MENUTUP DIRI, MENCONTOH SEPERTI YANG PERNAH DILAKUKAN OLEH CINA DULU?

Sebetulnya memang kita sudah keliru, karena terlalu mudah membuka diri. Kita tidak memperhatikan bahwa sebenarnya masuknya modal asing itu untuk kepentingan mereka sendiri, tidak untuk membantu kita. Teman saya, Bromley, itu pernah menulis email pada saya, “Mubyarto, less globalized world better for your cuntry.” … Maksudnya sama dengan inward dan outward looking tadi, bukannya menutup diri dari asing, tapi mbok pasar dalam negeri itu digarap dengan baik, jangan hanya berpikir keluar, tentang ekspor saja.

>>> SEBAGAI IDEOLOGI, PANCASILA ‘KAN KATANYA IDEOLOGI YANG TERBUKA, ARTINYA BISA MENERIMA HAL-HAL DARI LUAR. TAPI JIKA KEMUDIAN EKONOMI PANCASILA—YANG TADI KATANYA BERDASARKAN IDEOLOGI PANCASILA—ITU DEMIKIAN PROTEKTIF, SEMENTARA IDEOLOGINYA SENDIRI BERSIFAT TERBUKA, BUKANNYA ITU BERSIKAP MENDUA?

Saya kira dilihatnya tidak begitu. Setiap negara harus percaya diri bahwa ia punya ideologi, yang akan jadi pegangan seluruh bangsa. Kalau misalnya ada ideologi bangsa lain yang kita perhatikan itu kok kelihatannya lebih baik, itu ya harus dites dulu dengan ukuran kita, apa betul-betul lebih baik dari pada Pancasila? Jadi, memang Pancasila tidak dianggap perfect, sempurna, lalu menjadi dogma. Tidak. Kebanyakan dari kita memang berpikir tidak percaya pada Pancasila. Bukankah Amerika bisa maju bukan karena Pancasila? Jepang bisa maju bukan karena Pancasila? Mereka berpikirnya begitu. Tapi tidak pernah berpikir, jangan-jangan mereka maju karena lebih “Pancasila” dari kita.

Karena itu, jangan buru-buru menilai bahwa kemajuan atau keterbelakangan ini karena ini atau itu. Sebelum menilai Ekonomi Pancasila, atau ekonomi rakyat, harus dilihat dulu dong, kita sudah melaksanakan Pancasila dengan sungguh-sungguh atau belum. Selama ini ‘kan kita belum serius melaksanakan ekonomi rakyat, karena memang itu hanya dihapalkan di luar kepala, tidak kita pahami betul.

>>> KATANYA, FAKULTAS EKONOMI JUGA NAMANYA MAU DIGANTI?!

Sekarang ini banyak sekali yang keliru dalam menilai ilmu ekonomi. Orang mengatakan bahwa konglomerasi, globalisasi, itu adalah ekonomi, padahal itu keliru. Konglomerasi dan globalisasi adalah ekonomi yang sudah menjadi alat businessman untuk mengejar untung. Economy is not business. Saya tentang habis-habisan perubahan itu. Lho, ekonomi kok diperkecil hanya menjadi bisnis itu gimana? Ekonomi itu moral, sedangkan bisnis itu untung. Jadi ‘kan nggak bener. Terus sekarang juga ada ekonofisika, itu nggak akan bermanfaat. Ekonomi kok dibuat makin eksak, seperti ilmu alam, yang benar saja?! Ekonomi itu ilmu sosial. Mereka tidak pernah turun ke lapangan mempelajari praktek ekonomi orang kecil sih, karena hanya puas dengan sebatas menjadi “computer mind”; bermain di belakang komputer, tapi merasa sudah bermain ekonomi.

Memang dalam bukunya Kenneth Boulding, ilmu ekonomi itu bisa ilmu moral, sosial, politik, matematika, atau fisika. Memang bisa macem-macem. Tapi at all, economics is social science. Kalau ekonomi sudah melupakan diri bahwa dia adalah anaknya ilmu sosial, sudah nggak ada gunanya.

>>> SEBENARNYA FENOMENA KETERPUKAUAN PADA ILMU-ILMU IMPOR ITU ‘KAN TIDAK HANYA TERJADI PADA ILMU EKONOMI, TAPI HAMPIR PADA SEMUA ILMU-ILMU SOSIAL, JUGA SAINS. SEBAGAI SEORANG INTELEKTUAL, ANDA MELIHATNYA BAGAIMANA?

Itu mental inlander. Kita nggak pernah punya semangat untuk mengatakan, “Ini lho dadaku!” Selalu saja takut, silau pada pada apapun yang dikatakan orang asing. Kadang-kadang saya jadi kecil hati. Pikiran-Pikiran saya, tulisan-tulisan saya, buku-buku saya, itu dianggap seperti buku putih, nggak ada yang mau meresensi. Jadi, memang benar kalau dikatakan orang-orang asing itu lebih dihargai, sementara ilmuwan sendiri nggak dihargai.

Bagikan