NAVIGASI

Kamis, 14 Agustus 2014

Tuntutan Balas Jasa Berbuah Benih Pertikaian Rebutan Kursi Kabinet Jokowi

EraTVOnline.com - Perkenankan saya memuat ulang tulisan ini dari Kompasiana, seperti yang Kita ketahui, kompas gramedia adalah tim sukses dari pihak Jokowi dan sekarang saya muat di Asatunews.com, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Pada awalnya tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana (29/7/2014) namun kemudian dihapus pihak pengelola dengan alasan "mendiskreditkan nama baik". Sebuah alasan penghapusan yang mudah diperdebatkan karena tulisan itu dibuat oleh penulis dengan indentitas jelas dan terverifikasi. Di samping itu, tulisan dimaksud adalah suatu analisa terhadap konstelasi politik yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Plus, jika ada pihak yang merasa didiskreditkan namanya, pihak dirugikan dapat menempuh jalur hukum dan lainnya. Kompasiana ternyata hanya media dagelan saja. Tidak lebih.

Kericuhan mengenai pembagian jatah kursi kabinet Jokowi mencuat ke publik seusai Penetapan rekapitulasi suara pemilu presiden (pilpres) oleh KPU Pusat pada 22 Juli 2015 yang dilakukan secara asal-asalan, terburu-buru, penuh kekeliruan dan sarat pelanggaran hukum.

Penetapan KPU itu mengabaikan semua amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni pemilu pilpres harus diselenggarakan secara jujur, adil, bersih dan bebas. KPU menjadi salah satu aktor utama dalam berbagai pelanggaran hukum pada penyelenggaraan pemilu pilpres 2014.

Merespon berbagai pelanggaran fatal oleh KPU, pasangan Prabowo-Hatta mengajukan permohonan gugatan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi pada 26 Juli 2014 lalu. Putusan MK terhadap gugatan Prabowo-Hatta rencananya akan diputuskan pada 21 Agustus mendatang.

Fakta bahwa hasil akhir pilpres masih lama dan jauh dari pasti, karena ada proses sidang di MK, serta kemungkinan bergulirnya Pansus (panitia khusus) DPR terhadap penyelengaraan serta hasil-hasilnya,  namun kelompok pendukung capres Joko Widodo sudah meributkan pembagian kekuasaan, jatah kursi kabinet konsesi politik dan ekonomi, seolah-olah Joko Widodo sudah pasti menjadi presiden RI.

Kelompok pertama merasa paling berjasa mengantarkan Joko Widodo menjadi presiden adalah partai politik. PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKPI adalah parpol pengusung dan pendukung capres Joko Widodo. PDIP sebagai partai di mana Joko Widodo berasal dan menjadi kadernya, berharap mendapat jatah kursi terbesar. Sedikitnya, nama - nama seperti Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Hasto Kristanto, Ribka Tjiptaning, Maruarar Sirait, Trimedya Panjaitan, TB Hasanuddin, Pramono Anung, Teras Narang dan Ganjar Pranowo disebut-sebut bakal mendapat posisi kursi menteri di Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Sementara itu, PKB sebagai partai dengan perolehan suara lebih 9% dan pertama kali menyatakan dukungannya bergabung bersama PDIP - Jokowi, tentu meminta jatah kursi kabinet sedikitnya 5-6 kursi. Muhaimin Iskandar, Marwan Jaffar, Abdul Kadir Karding, Helmy Faisal, Kofifah Indar Parawansa, Yenny Wahid dan seterusnya menjadi kandidat terkuat menduduki posisi menteri. Nusron Wahid yang kader Partai Golkar namun mbalelo dengan mendukung Jokowi-JK dipastikan akan minta jatah jadi menteri.

Nasdem, Hanura dan PKPI mungkin hanya mendapat alokasi total 6-7 kursi kabinet untuk ketiga parpol ini. Ferry Mursildan Baldan, Sutiyoso, Yudhi Krisnandi adalah nama-nama calon penghuni kabinet Jokowi yang gencar disebut belakangan ini. Jika dituruti seluruh keinginan parpol pendukung, mungkin 34-37 kursi menteri tidak akan cukup, karena derasnya permintaan partai terhadap kursi kabinet.

Padahal, kelompok pendukung utama itu bahkan dapat disebut sebagai kelompok 'pencipta' Joko Widodo hingga bisa melangkah sejauh ini pastilah menginginkan hasil kerja keras mereka selama sekitar 6 - 7 tahun (sejak rencana menjadikan Jokowi sebagai presiden boneka ditetapkan), berharap mendapat balasan sepadan, diantaranya dengan mendapat jatah kursi kabinet juga.

Mereka yang masuk kelompok kedua di antaranya : Hendropriyono, Luhut Panjaitan, Sabam Sirait, Agus Widjojo, Asyori Tadjuddin, Djan Faridz, para jenderal purn, baik yang tergabung dalam Tim Begawan, mau pun para jenderal purn kubu mantan wapres Try Sutrisno, dan seterusnya. Jokowi adalah ciptaan mereka dan untuk itu mereka pasti merasa paling berhak untuk menikmati buah hasil ciptaannya.

Kelompok ketiga adalah para kapitalis atau pemilik modal yang menjadi 'darah dan tulang punggung' kekuatan Joko Widodo selama ini. Mereka adalah para konglomerat non pribumi, yang dapat digolongkan dalam dua kategori, yakni konglomerat koruptor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan Non BLBI. Mereka sangat berjasa menyukseskan rencana besar konspirasi global untuk menjadikan Joko Widodo sebagai presiden boneka (proxy) dan Basuki Tjahja Purnama alias Basuki Indra alias Zhang Wan Xie alias Ahok (proxy kedua) menjadi gubernur DKI Jakarta.

Untuk memenangkan Jokowi- Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta saja, konglomerat koruptor BLBI yang kini bermukim di luar negeri, utamanya Singapura, telah menyumbang lebih dari Rp 500 miliar kepada tim sukses Jokowi - Ahok. Dapat dibayangkan berapa besar sumbangan uang kampanye dan pemenangan dari buronan negara itu kepada Jokowi- JK selama pilpres 2014 kemarin.

Konglomerat non BLBI yang jumlahnya jauh lebih besar, mereka hidup, tinggal dan mengembangkan bisnisnya di Indonesia, tentu memberi bantuan dalam bentuk uang tunai, jaringan dan dukungan kampanye / pemcitraan Jokowi di media massa yang sangat besar, berkali-kali lipat dibandingkan dengan konglomerat/bankir koruptor BLBI. Mereka mungkin tidak menginginkan jabatan atau kursi di kabinet, tetapi pasti mengharapkan konsesi dari pemerintahan Jokowi. Konsesi bisnis dan ekonomi yang berlipat ganda dari konsesi yang telah mereka nikmati selama ini.

Berbeda dengan kelompok konglomerat non pribumi tersebut di atas, kelompok berikutnya atau kelompok keempat adalah James Riyadi dan 'inner circle -nya'. Status pribadi James Riyadi, yang disebut pihak otoritas Amerika Serikat sebagai agen intelijen pemerintah RRC,  James Riyadi mempunyai agenda politik strategis terhadap Indonesia yang akan diwujudkannya melalui bantuan dan dukungan penuh dari Joko Widodo.

Sejauh mana kepentingan politik James Riyadi dan pemerintah RRC tidak berbenturan dengan kepentingan nasional NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dapat dicermati melalui kebijakan-kebijakan Joko Widodo nanti, ketika ia benar-benar berkuasa sebagai presiden Indonesia.

Kelompok kelima, yakni kelompok ideologis,  terdiri dari kaum nasionalis, marhaenis, sosialis dan komunis Indonesia yang selama ini sangat militan dan revolusioner menggarap basis massa untuk mendukung usaha - usaha pemenangan Joko Widodo. Dari kelompok idelogis ini, kaum komunis Indonesia yang mulai bangkit dan sukses mencapai kejayaannya adalah kelompok yang merasa paling berhak mendapat balas jasa atas semua jerih payah mereka dalam membantu kemenangan Jokowi.

Sedangkan kelompok sosialis yang membantu habis-habisan Jokowi terutama melalui jaringan media yang mereka miliki, merasa berhak mendapat tempat di kabinet dan di jajaran pemerintahaan Jokowi, di samping hak mereka memperoleh konsesi bisnis dan ekonomi dari kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi nanti.

Kelompok keenam yaitu kubu Jusuf Kalla. Sebagai  cawapres pasangan Jokowi dan  salah satu penyandang utama terbesar  kampanye pemenangan Jokowi- JK, pasti JK telah memegang perjanjian atau kontrak politik, di mana kontrak itu telah mengatur dan menetapkan selengkap sedetail mungkin mengenai pembagian kekuasaan di antara mereka berdua (Jokowi-JK).

Jusuf Kalla sudah memiliki banyak pengalaman manis dan pahit sewaktu menjadi wakil presiden pada pemerintahan SBY. Mereka berdua mengatur dan menetapkan pembagian kekuasaan /wewenang berdasarkan pada kontrak politik yang telah mereka sepakati bersama. Dapat dipastikan, ketika JK diputuskan menjadi cawapres Jokowi, pihaknya telah menyusun sesempurna mungkin mengenai aturan-aturan main terkait pembagian kekuasaan di antara mereka berdua. Sulit dibayangkan bagaimana Jokowi dapat mengatur dan memutuskan pembagian 'kue kekuasaaanya' untuk berbagai kelompok pendukung, sementara dirinya sudah terikat ketat melalui kontrak politiknya bersama Jusuf Kalla.

Kelompok ketujuh adalah kaum bisnis-oportunis pribumi yang memandang Jokowi hanya sebagai kendaraan untuk mendapatkan tujuan bisnis/ekonomi. Kelompok ini sejak awal percaya bahwa pertarungan bisnis dan ekonomi di Indoensia hanya bisa dimenangkan bilamana mereka memiliki akses politik yang luas dan kuat. Mungkin kelompok ini tidak mengharapkan kursi kabinet, tetapi memastikan bahwa bisnis dan kepentingan pribadi mereka harus diakomodir oleh pemerintahan Jokowi. Bagi mereka mendukung pendanaan kampanye Jokowi sama halnya dengan investasi yang harus menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.

Kepala Jokowi pasti terasa seperti akan pecah meledak ketika kelompok-kelompok lain juga menuntut konsesi politik dan ekonomi. Mereka adalah kelompok elit atau ormas keagamaan yang telah mengantarkan Jokowi ke posisi puncak. Kelompok ini didominasi oleh Katolik dan Protestan.

Kelompok Katolik termasuk di dalamnya CSIS (Centre For Strategic and International Studies - kelompok pemikir pendukung rezim Orba yang dikendalikan dan memperjuangkan misi Katolik di Indonesia), akan meminta konsesi politik luar biasa besar dari Jokowi dan JK, dalam rangka mewujudkan cita-cita mereka mengembalikan masa kejayaan dan keemasan Katolik Indonesia seperti pada masa pemerintah Orde Baru, khususnya seperti periode 1966-1990 lalu.

Kelompok Katolik/CSIS secara politis lebih beruntung dan memiliki daya tawar kuat terhadap Jokowi, karena eksistensi mereka selama pilpres 2014, tidak semata-mata bergantung sepenuhnya pada Jokowi, tetapi mereka juga mendominasi kubu Jusuf Kalla. Hubungan erat JK dan Keluarga Wanandi sebagai faktor utama.

Sedangkan kelompok Protestan, terutama HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai motornya, pasti menuntut diakomodirnya konsesi politik dan ekonomi secara maksimal oleh Jokowi-JK. Permintaan ini selalu dilontarkan tegas oleh Jenderal (purn) Luhut Binsar Panjaitan yang gencar memobilisasi dukungan Batak Protestan untuk pasangan Jokowi -  JK.

Entah bagaimana cara dan strategi Jokowi memecahkan masalah berat terkait tuntutan-tuntutan kelompok pendukungnya.

    Penetapan Pilpres masih jauh dari akhir dan serba tak pasti, tetapi benih-benih pertikaian di antara pendukungnya yang menuntut balas jasa atas jerih payah dan pengorbanan mereka semua, semakin mencuat, kian membesar dan berpotensi menimbulkan konflik serius di antara mereka sendiri.


Bibit pertikaian antara Jokowi dengan berbagai kelompok pendukungnya dan antara masing-masing kelompok pendukung Jokowi, dalam rangka mendapat jatah/konsesi sebanyak-banyaknya dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi, semakin membesar dan hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Namun celakanya, tidak semua kelompok pendukung Jokowi sadar bahwa kemenangan Jokowi dalam pilpres 2014 sekarang ini masih bersifat semu utopis atau angan-angan belaka karena masih ada rangkaian proses hukum dan politik yang sangat menentukan siapa yang menjadi pemenang Pilpres 2014 yang sejati, yakni melalui persidangan sengketa pilpres di MK dan Pansus Pilpres di DPR.

Semoga semua kelompok para pendukung Jokowi-JK sadar bahwa apa yang sedang mereka ributkan sekarang hanyalah ibarat merebut tulang tanpa isi.


Judul Asli: Rebutan Kursi Kabinet Jokowi Ibarat Berebut Tulang Tanpa Isi
Oleh: Raden Nuh, Pengamat Hukum dan Sosial Politik

Tidak ada komentar :

Bagikan