NAVIGASI

Sabtu, 02 Agustus 2014

Menuju Pertempuran Akhir Prabowo vs. CSIS feat. Jokowi


 
Dua hari terakhir ini beredar foto Ketua KPU Husni Kamil Manik sedang bertemu dengan orang-orang yang disebut sebagai orang Hendropriyono, anggota timses Jokowi-JK di sebuah ruangan tampak seperti kamar hotel mewah (lihat: pic.twitter.com/phnqipTB8t). Saya sengaja menunda penulisan artikel karena bermaksud menunggu tanggapan Husni Kamil Manik atas foto tersebut namun tidak ada komentar sampai tulisan ini disusun sehingga saya asumsikan fotonya memang benar, asli dan bukan hasil photoshop.

Apakah saya kaget atau heran apabila foto tersebut benar dan membuktikan Ketua KPU berkongkalikong dengan timses Jokowi-JK? Tidak, sebab bukankah sehari menjelang debat capres pertama timses Jokowi-JK bernama Trimedya Panjaitan tertangkap basah bertemu Komisioner KPU bernama Hadar Nafis Gumay dan Komjen Budi Gunawan di restoran Sate Khas Senayan pada hari Minggu malam? Yang membuat saya syok adalah temuan bahwa istri Husni Kamil Manik bernama Endah Mulyani memiliki orang tua sama dengan Mufidah, istri Jusuf Kalla yaitu H. Buya Mi'ad dan Sitti Baheram. Ini jelas nepotisme...sungguh permainan yang luar biasa gila!! Tidak usah bicara yang rumit-rumit, dengan fakta Ketua KPU adalah ipar JK saja sudah merupakan alasan membatalkan pilpres yang lalu dan melakukan pemilihan ulang.

Dengan demikian dapat dimengerti alasan KPU tidak mengindahkan rekomendasi Bawaslu untuk melakukan pilpres ulang di Jakarta karena ditemukan lebih dari 5.841 TPS bermasalah tapi KPU hanya mengulang pencoblosan di 16 TPS; menjelaskan alasan Ketua KPUD Sumut bernama Benget yang kader PDIP dan Yulhasni yang mantan Ketua Timses Maisyayak Johan dari Nasdem mengesahkan suara Nias Selatan yang jumlah pemilih digelembungkan hingga 50% termasuk mendiamkan aksi anggota KPPS menyobek kertas suara yang mencoblos Prabowo-Hatta saat menghitung suara yang masuk bagi masing-masing calon dan masih banyak lagi kecurangan masif lainnya.

Modus kecurangan yang terjadi pada pilpres 2014 adalah penggelembungan suara yang terjadi khususnya pada daerah-daerah yang memenangkan Jokowi-JK dan terdapat bukti tidak bisa terbantahkan bahwa apabila kita membandingkan jumlah penduduk versi Badan Pusat Statistik/BPS dan jumlah Daftar Pemilih Tetap yang disusun KPU maka hasilnya adalah sangat jomplang di mana jumlah DPT pada propinsi-propinsi yang memenangkan Jokowi-JK jauh lebih tinggi daripada jumlah penduduk yang dibuat oleh BPS. Kok bisa? Mari kita lihat empat contoh berikut ini:

1. Jawa Tengah:

- Jumlah penduduk versi BPS: 33.774.100, dan yang berumur 15thn ke atas versi BPS: 23.356.156.

- Jumlah DPT menurut KPU: 27.398.829, atau selisih 4.042.673 dengan BPS atau lebih tinggi 15% dari hitungan BPS.

2. DI Jogjakarta:

- Jumlah penduduk versi BPS: 3.679.200, dan yang berumur 15thn ke atas versi BPS: 2.544.316.

- Jumlah DPT menurut KPU: 2.740.060, atau selisih 209.744 dengan BPS atau lebih tinggi 8% dari hitungan BPS.

3. Jawa timur

- Jumlah penduduk versi BPS: 38.847.600, dan yang berumur 15thn ke atas versi BPS: 26.864.686.

- Jumlah DPT menurut KPU: 30.652.750, atau selisih 3.78.064 dengan BPS atau lebih tinggi 12% dari hitungan BPS.

4. Papua

- Jumlah penduduk versi BPS: 3.149.400, dan yang berumur 15thn ke atas versi BPS: 2.177.937.

- Jumlah DPT menurut KPU: 3.223.816, atau selisih 1.045.879 dengan BPS atau lebih tinggi 32% dari hitungan BPS.

Total selisih DPT dan data penduduk berusia 15 tahun ke atas menurut perhitungan BPS adalah 11.879.744 yang bisa kita kurangkan kembali dengan faktor jumlah penduduk berusia 17 tahun ke atas yang sudah memiliki hak suara maka kurang lebih kita akan memperoleh selisih penduduk menurut DPT dan BPS 9.000.000 sedangkan selisih perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK kurang lebih 8.500.000 suara. Angka ini dengan asumsi bahwa semua orang memilih dan tidak ada golput sedangkan kita ketahui bahwa angka golput mencapai 20%. Berdasarkan angka BPS saja sudah terlihat dengan gamblang bahwa hasil perhitungan perolehan suara yang dilakukan oleh KPUD dan KPU sangat janggal dan kejanggalan tersebut karena:

1. Jumlah DPT lebih tinggi daripada hasil hitungan jumlah penduduk yang memiliki hak pilih dari BPS, dan ini tidak mungkin sebab pekerjaan sehari-hari BPS adalah menghitung jumlah real penduduk dan pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk di sebuah daerah.

2. Rekapitulasi final KPU bukan saja lebih tinggi daripada hitungan BPS tapi juga menggambarkan seolah tidak ada golput dan hal ini dapat dipastikan tidak benar.

3. Penggelembungan 11.879.744 suara oleh KPU dapat dipastikan semua masuk sebagai perolehan suara Jokowi-JK yang mencapai 70.522.493 dan bila penggelembungan suara tersebut dihilangkan maka perolehan suara Jokowi-JK yang asli dengan asumsi tidak ada kecurangan lain kurang lebih adalah 58.642.749 berbanding perolehan suara Prabowo-Hatta yaitu 62.373.927 atau konsisten dengan pernyataan Umar Abduh selama 18 menit di Youtube bahwa menurut data yang dia pegang seharusnya Prabowo-Hatta adalah pemenang pilpres dengan selisih 54% (lihat http://www.youtube.com/watch?v=x8WoJBklpVE).

Tentu saja bila pilpres berjalan adil maka jurang suara antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta akan semakin melebar oleh sebab kecurangan yang dilakukan Jokowi-JK bukan hanya dalam hal mark up jumlah DPT tapi juga masalah pengumuman kemenangan berdasarkan QC dan Exit Polls secara prematur; perusakan kertas suara yang memilih Prabowo-Hatta seperti yang terjadi di Jawa Tengah; pemilih yang sama memilih berkali-kali sebagaimana di Jawa Tengah, pemilih ilegal dan tidak memenuhi syarat diperbolehkan memilih seperti di Jakarta dengan jumlah pemilih ilegal mencapai 250ribu orang; KPU sebagai lembaga yang berwenang mengabaikan rekomendasi Bawaslu untuk mengadakan pemilihan ulang karena Ketua KPU adalah suami dari adik ipar Jusuf Kalla dan lain sebagainya.

Saya tidak tahu apakah Prabowo-Hatta akan melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi atau tidak, kendati demikian aksi Prabowo menjelang pengumuman KPU membawa sisi positif yaitu Jokowi-JK akhirnya membuka kedok mereka bahwa Jokowi memang benar hanya presiden boneka sedangkan pemegang kendali pemerintahan yang sebenarnya ada di tangan Megawati Soekarnoputri dan hal ini terungkap dari pernyataan Jusuf Kalla bahwa penentuan kabinet akan ditentukan sepenuhnya oleh Ketua Dewan Pembina Presiden yaitu Megawati. Apa artinya?

Pertama, Sudah terbentuk lembaga bernama Dewan Pembina Presiden yang dipimpin langsung oleh Megawati Soekarnoputri. Anggota Dewan Pembina Presiden tidak diketahui tapi dapat dipastikan para ketua umum partai pendukung Jokowi-JK dan trio klik Benny Moerdani sebagai perwakilan CSIS yaitu Luhut Panjaitan, Agum Gumelar dan Hendropriyono.

Kedua, lembaga Dewan Pembina Presiden berkedudukan di atas presiden sebab kabinet presiden dibentuk oleh Ketua Dewan Pembina Presiden, yang artinya Dewan Pembina Presiden tidak sama dengan Dewan Pertimbangan Presiden/Wantimpres yang berada di bawah presiden.

Ketiga, patut diduga bahwa semua kebijakan pemerintah dan roda pemerintahan akan sepenuhnya dijalankan oleh Dewan Pembina Presiden sedangkan Jokowi hanya bertindak sebagai topeng atau boneka dari para elit politik yang berada di dalam Dewan Pembina Presiden.

Keempat, secara konseptual ide Dewan Pembina Presiden adalah mengambil alih konsep komite sentral dalam sebuah negara komunis yang dikuasai satu partai komunis yaitu presiden hanya bertindak sebagai ketua politburo sedangkan kekuasaan sepenuhnya ada di tangan komite sentral yang dapat menentukan roda pemerintahan dan memveto kebijakan presiden. Masalah tentu saja Indonesia multipartai dan tidak mungkin kebijakan Dewan Pembina Presiden bisa berjalan mulus tanpa intervensi DPR dan itulah alasan Jokowi-JK terus mencoba menggoyang koalisi merah-putih demi dukungan di DPR sebanyak mungkin.

Dengan demikian Megawati dan CSIS bermaksud memperlakukan negara ini sebagai partai politik miliknya sendiri dan menjalankan oligarki kekuasaan ala partai komunis. Apakah anda rela? Untuk semua alasan-alasan di atas maka Prabowo-Hatta harus mengajukan gugatan pilpres ke Mahkamah Konstitusi untuk mencegah boneka dan oligarki pendukungnya yang curang itu berkuasa di Indonesia.  

Tidak ada komentar :

Bagikan