NAVIGASI

Selasa, 25 November 2014

Pro-kontra tentang kenaikan harga BBM



Pro-kontra tentang kenaikan harga BBM masih berlangsung. Saya ingin membantu menjelaskan.

Begini: Pemerintahan baru naik. Rapat kabinet pertama. Presiden menyampaikan program-programnya yang perlu diwujudkan para menteri. Singkatnya, setelah program-program itu dibahas bersama para menteri, ketemulah biaya yang dibutuhkan. Kita contohkan saja: Rp10 juta.

Semua program yang disampaikan presiden itu akan terlaksana bila ada duit sebesar itu. Maka, presiden beserta jajarannya berkonsultasi dengan menteri keuangan. Intinya: Kita punya duit berapa sih? Di kas Negara ada duit berapa?

Duit di kas Negara itu berasal dari tiga sumber: Pertama, pendapatan dari pajak. Kedua setoran-setoran BUMN. Ketiga: Pinjaman luar negeri. Yang belakangan ini kita abaikan dulu.

Setelah diperiksa, ternyata di kas Negara cuma ada duit Rp5 juta, alias kurang lima juta lagi. Maka, ada dua pilihan. Pertama, mencoret sebagian program-program yang telah disampaikan. Kedua, menaikkan proyeksi pendapatan Negara menjadi Rp10 juta atau lebih.

Bila pilihan pertama yang diambil, timbul masalah. Program-program itu kan yang dijanjikan kepada rakyat selama kampanye? Dan rakyat memilih mereka antara lain karena program-program itu: Kartu pintar, kartu sehat, beli drone, beli satelit, bikin tol laut, dan seperti anda tau. Bila sebagian program-program itu dicoret, rakyat pemilih akan nagih. Ribut. Tak nyaman lah.

Bila pilihan kedua yang diambil, yakni menaikkan proyeksi kas Negara, pemerintah baru hanya bisa memilih mana yang bisa diintervensi. Tidak ada yang lain kecuali menaikkan harga-harga barang jasa yang disediakan oleh perusanaan Pemerintah. Mendorong ekspor tidak bisa diintervensi karena yang menentukan adalah pembeli di luar negeri. Pemerintah tak bisa memerintah pihak asing untuk membeli barang-barang ekspor Indonesia. Atau memerintah pembeli asing yang sudah ada untuk menambah pembeliannya.

Dan kebetulan yang paling banyak memasukkan setoran kepada kas Negara adalah Pertamina, dari hasil penjualan premium. Harga kemarin perlu dinaikkan untuk meningkatkan kas Negara menjadi 10 juta itu. Tapi masalahnya, menaikkan harga premium pun berarti mengingkari janji selama kampanye. Dan yang lebih serius, akan memicu kenaikan harga-harga barang dan jasa.

Menaikkan harga premium ada kemungkinan positifnya juga: mengurangi penyelundupan premium ke luar negeri. Karena harga premium dalam negeri murah, dijual lah keluar negeri. Praktik ini bisa dilakukan oknum, bisa juga oleh Pertamina sendiri. Pasokan dalam negeri jadi kurang. Itulah sebabnya kadang-kadang premium 'ngilang'. Tentu mereka untung besar.

Ini pelajaran bagi para pemilih. Jadilah pemilih rasional, jangan emosional. Sebab kalau anda memilih tanpa alasan rasional,hanya karena program-programnya menarik dan asyik, akibatnya akan kena ke anda juga. Mungkin pemerintah baru tidak ada niat membohongi pemilihnya. Itu  karena tidak ada pilihan saja. Sebab lain karena kurang kreatif.

Kenapa tak menaikkan pajak saja? Resikonya lumayat sulit. Pemerintah baru sedang berusaha bermanis-manis kepada para pemodal dan pengusaha untuk meningkatkan investasi, menaikkan pajak bisa merusak usaha yang sedang dibangun. Dan ingat, pemerintah baru ini bisa terpilih antara lain karena dukungan finansial sebagian mereka.

Subsidi?
Apakah meningkatkan harga premium itu berarti mencabut subsidi? Apakah harga kemarin itu harga subsidi? Bukan. Harga premium kemarin itu tak lebih dan tak kurang adalah harga premium Indonesia di dalam negeri!

Subsidi kalau, misalnya, penghasilan pertamina dari premium yang seharusnya Rp3 juta cuma dapat Rp2 juta. Lalu Pemerintah menutup kekurangan itu dengan memasukkan pendapatan dari sektor lain. Itu baru subsidi.

Pertamina telah memenuhi target setoran ke kas Negara dan tidak rugi dengan harga premium selama ini. Tidak ada subsidi. Tidak ada ‘subsidi yang dinikmati orang-orang kaya’ ataupun miskin. Pemerintah tak pernah nombokin Pertamina. Kebohongan ini harus dihentikan.

Investasi asing
Bila menaikkan pajak bukan pilihan yang mungkin, maka kerja-kerja-kerja lah menjaring investasi atau ngutang. Kalau dapat utang, ini lebih aman untuk di dalam negeri, sebab nanti yang bayar bukan rejim pemerintah, tapi negara. Bisa ditimpakan ke pemerintahan berikutnya.

Supaya investasi menarik, perizinan harus mudah, pajak harus rendah, biaya konsesi harus murah. Jadi kerja-kerja-kerja sama dengan obral-obral-obral. Tapi harap dicatat bahwa hasil dari investasi asing tak datang hari ini, atau besok, atau tahun depan, atau dua tahun yang akan datang. Tak ada satu perusahaan di dunia dan planet lain yang langsung untung.  Bahkan bila proyeknya rugi, ya gigit jari. Contoh tentang proyek gagal ini sangat banyak di Indonesia. Boro-boro menambah pemasukkan ke kas negara. SDA rusak. Pengangguran nambah. Dan lihat, investasi asing sudah menyerbu Indonesia segera setelah reformasi, toh rakyat Indonesia begini-begini aja.

Lagi pula, dalam hal investasi asing dan utang ini Pemerintah Indonesia sering dikibuli dan tak kapok-kapok. IMF, atau Bank Dunia, atau ADB, atau USAID, atau negara anu, “berkomitmen untuk memberi pinjaman sekian dolar kepada Indonesia.” Baru komitmen sudah jadi sumber kebanggaan. Sudah diberitakan dimana-mana. Diutnya belum tentu datang, dan banyak yang tak datang, tapi pemerintah Indonesia sudah duluan nurut perintah si pemberi janji. Maklum, beharap bingit agar janjinya benar-benar dipenuhi. Disuruh menswastakan sumber daya air. Nurut. Disuruh menjual BUMN itu, nurut. Disuruh nembakkin yang dianggap teroris, nurut. Setelah semua diturut, duit yang dijanjikan tak datang juga. Si pemberi janji sudah mencapai tujuan dan maksudnya, ngapain memenuhi janji. Pelajari kembali kasus lepasnya Timtim: http://kafilyamin.wordpress.com/2011/02/18/menit-menit-yang-luput-dari-catatan-sejarah-indonesia/

Bilapun investasi asing benar-benar terwujud, cukup banyak yang akal-akalannya membodohi Indonesia juga. Si investor asing tak keluar duit, atau keluar duit sedikit saja, yakni dengan hanya menyediakan dana awal untuk membentuk konsorsium antar bank-bank Indoneisa. Walhasil, proyek asing itu dibiayai oleh bank-bank Indonesia, alias sekumpulan bank kita memberi kredit kepada pemodal asing! Contoh proyek seperti ini banyak di Indonesia. Tidak pada tempatnya mengurai kasus-kasus itu di sini. Lihat: http://www.cato.org/pubs/pas/pa065.html

Atau baca: Arbitrating Foreign Investment Dispute, yang disunting Norbert Horn.  Kalau gagal, si pemodal asing sama sekali tidak rugi. Kita yang gigit jari.

Kita, rakyat, kalau pun tidak cerdas-cerdas amat, tidak ingin dikibuli pemerintah sendiri ataupun asing.


 


Tidak ada komentar :

Bagikan