NAVIGASI

Senin, 28 Juli 2014

Membaca Haluan Politik Luar Negeri Prabowo Lewat Isu WTO dan Laut Cina Selatan.


Dalam debat capres bahas politik luar negeri tadi malam Prabowo hanya memberi penegasan-peneg


asan bahwa politik luar negeri merupakan cermin kondisi dalam negeri, seraya menegaskan bahwa politik luar negeri haruslah bertumpu pada kekuatan nasional yang nyata agar disegani dan tidak dilecehkan oleh dunia internasional.

Bagi saya pribadi, yang sudah mengkaji isu politik internasional dan ketahanan nasional secara intensif selama 8 tahun, saya justru menangkap sikap ideologis Prabowo bukan melalui Opening statement-nya, melainkan justru melalui dua isu yang dia lontarkan kepada Jokowi dalam sesi saling tanya jawab. Yaitu terkait bagaimana Sikap Indonesia dalam menghadapi forum World Trade Organization(WTO) maupun konflik di Laut Cina Selatan.

Kata orang bijak, seseorang dinilai bukan dari jawabannya melainkan dari apa yang ditanyakannnya. Saya menangkap adanya urgensi dan pandangan yang strategis terkait sikap politik luar negeri Indonesia terkait kedua isu tersebut.

Kita tahu, soal peran dan penyikapan RI dalam forum WTO, bukan sekadar dipandang sebagai fenomena organisas perdagangan. Karena itu pertanyaan Prabowo mengenai sikap RI terhadap WTO, pastinya didasari kegelisahannya terkait ketidakadilan ekonomi internasional.

WTO sejatinya merupakan sebuah sistem pasar bebas yang menembus batas-batas negara, yang bertujuan mengakhiri kedaulatan negara-bangsa. Gejala tersebut bisa dilihat secara kasat mata dengan meningkatnya dominasi kelompok lintas negara seperti G-7, EU, NATO, OPEC, ASEAN, APEC, NAFTA, WTO, IMF, World Bank, dan lain sebagainya.

Dan masuknya Indonesia sebagai anggota G-20, sebenarnya adalah kata halus dari menjebloskan Indonesia ke dalam “penjara” dengan Keamanan Tingkat Tinggi (Maximum Security).

Sistem keamanan utama global tersebut adalah WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff), yang ditopang oleh sistem keamanan kawasan atau regional yang disebut FTA (Free Trade Agreement) dengan berbagai variannya.

Melalui FTA, setiap negara yang terikat dengannya dipaksa meliberalisasi pasarnya agar terbuka lebar untuk dimasuki barang dan jasa, terutama sektor keuangan. Indonesia sendiri sudah terikat dengan AFTA tahun 2002, China-ASEAN-AFTA tahun 2004, dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007.

WTO Sebagai Sistem Kontrol Negara Dominan.

Setelah Perang Dunia II berakhir, IMF dan Bank Dunia melahirkan sebuah organisasi perdagangan dunia yang bernama GATT, di Jenewa, Swiss tahun 1948, sebagai implementasi hasil konferensi Bretton Woods, di New Hampshire, tahun 1944, yang disponsori oleh Amerika Serikat.

Pada awal berdirinya, GATT beranggotakan 23 negara, dan terus berkembang menjadi 115 negara pada sidang di Marakesh, Maroko, 5 April 1994. Ada tiga prinsip utama GATT yang mengikat negara-negara anggotanya antara lain:

Dalam KTT G-20 yang akan berlangsung bulan September 2013 di St. Petersburg, Rusia nanti, terdapat beberapa isu menarik, salah satunya yakni perlunya keterbukaan perbankan bagi setiap negara anggota demi kemudahan kerjasama multilateralisme keuangan global – kalau menggunakan bahasa indonesia artinya meminta kepada para kepala pemerintahan dunia untuk memberikan kekuasaan kepada WTO, IMF dan World Bank untuk mengatur kebijakan-kebijakan nasional setiap negara anggotanya.

Betapa tidak, karena sesungguhnya 80% perputaran uang di dunia ini telah dikuasai oleh IMF dan World Bank. Bayangkan, saat ini saja, bila ada seorang petani kita di pelosok negeri mengajukan proposal pinjaman dana kepada sebuah bank di tingkat kecamatan, maka informasinya akan langsung sampai ke World Bank dan IMF.

Kecanggihan sistem monitoring dan kontrol inilah yang menjadi dasar kebijakan World Bank atau IMF dalam memberikan bantuan ekonominya kepada negara miskin maupun negara berkembang.

Jadi pelemahan ekonomi negara-negara berkembang bukan dengan embargo, tetapi dilakukan dalam bentuk pinjaman yang menjadi hutang, bahkan dengan sengaja diberikan pinjaman dana sebesar-besarnya. Kalau perlu dalam bentuk hibah sebagai sarana masuknya produk, teknologi dan budaya mereka ke negara miskin dan negara berkembang.

LAUT CINA SELATAN

Ihwal pertanyaan Prabowo tentang konflik Laut Cina Selatan kepada Jokowi, juga mencerminkan pemahaman dan wawasannya tentang geopolitik. Meski tak satupun suku kata itu meluncur lewat narasinya.

Konflik perbatasan(border dispute) antar negara-negara di Asia Tenggara terkait beberapa wilayah yang di sekiling laut Cina Selatan, menurut saya bukan sekadar isu yang bisa memicu konfilik perbatasan antar beberapa negara ASEAN dengan Cina, melainkan juga jadi indikasi betapa isu konflik perbatasan akan digunakan sebagai sarana Proxy War oleh dua negara adidaya(AS dan Cina) untuk meningkatkan eskalasi konflik global AS versus Cina di Asia Pasifik.

Dengan kata lain, konflik perbatasan di wilayah yang dilewati Laut Cina Selatan, sejatinya merupakan isu yang berpotensi diangkat sebagai tema untuk menjadikan negara-negara di ASEAN sebagai sasaran arena medan perang antara AS versus Cina. Seraya mengondisikan politik adu domba antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN.

Bagi masyarakat, terutama swing voters yang cerdas dan jeli, jawabatan Jokowi terhadap kedua isu tersebut, sangat tidak strategis. Sehingga menggambarkan tidak adanya sense of crisis dalam menyikapi soal WTO dan Laut Cina Selatan.

Padahal, meski dirumuskan sebagai pertanyaan, WTO dan Laut Cina Selatan, Prabowo justru menjawab satu pertanyaan Jokowi yang cukup fundamental yaitu apa ancaman terbesar yang Indonesia hadapi baik dari dari luar dan dalam negeri. Sekaligus apa kontra skema dan strategi untuk menghadapinya.

Sementara Jokowi hanya memandang WTO sekadar sebagai fenomena organisasi perdagangan, sedangkan dalam soal Laut Cina Selatan, Jokowi seakan masih meraba-raba apa pentingnya konflik Laut Cina Selatan, dan apa dampak buruknya bagi Indonesia ke depan. 
 

Tidak ada komentar :

Bagikan